SOROT 232

Berebut Kelas Menengah di Langit Nusantara

Pesawat Citilink
Sumber :
  • Citilink

VIVAnews –  Beberapa tahun belakangan ini, masyarakat makin menggemari transportasi udara sebagai prioritas utama mereka dalam melakukan perjalanan. Harga tiket yang murah dan kecepatan waktu tempuh perjalanan memang nyaris tak tertandingi dibandingkan dengan moda transportasi yang lain.

Dengan harga yang relatif sama dibandingkan perjalanan darat, pesawat memberi nilai lebih, terutama pada kecepatan.  Bayangkan saja, tiket kereta Argo Bromo Jakarta Surabaya saat ini dipatok Rp450 ribu, jauh lebih mahal dibandingkan harga penerbangan AirAsia yang hanya Rp269 ribu sekali jalan. Naik kereta setidaknya butuh waktu semalam, sedangkan  pesawat satu jam, ditambah waktu tunggu dan lain, tak lebih dari empat jam.

Murah dan cepat inilah yang membuat penumpang pesawat membludak. Lihat saja, Bandara Soekarno-Hatta yang kapasitasnya hanya 22 juta penumpang per tahun, saat ini dipaksa harus melayani 52 juta penumpang.

Direktorat Perhubungan Udara Kementerian Perhubungan pernah menyatakan, pertumbuhan penumpang pesawat Indonesia tiap tahun sekitar 17 persen. Pertumbuhan tertinggi justru disokong oleh penumpang pesawat berbiaya rendah (low cost carrier/LCC), yaitu mencapai 14 persen. Sedangkan sisanya, 3 persen penambahan itu merupakan penumpang kelas layanan penuh atau kerap disebut legacy.

Tingginya penumpang penerbangan berbiaya rendah juga pernah disampaikan lembaga riset Frost & Sullivan. Lembaga tersebut menyatakan pertumbuhan pasar penerbangan rendah biaya Asia-Pasifik, termasuk Indonesia, mencapai 16,9 persen dengan jumlah penumpang 116 juta pada 2008 menjadi 217 juta pada 2012. Angka yang sangat tinggi dan sangat menggiurkan bagi pengusaha kakap.

Penduduk Indonesia yang mencapai 240 juta dengan demografi kepulauan menjadi peluang besar bagi industri penerbangan Tanah Air.  Namun, Frost & Sullivan dalam laporannya menyatakan,  faktor yang paling mendorong peningkatan penumpang penerbangan rendah biaya adalah pertumbuhan ekonomi yang tinggi.

Naiknya pendapatan masyarakat, seiring membaiknya pertumbuhan ekonomi, membuat permintaan layanan penerbangan juga naik. 

Pengamat industri penerbangan Dudi Sudibyo mengatakan, industri penerbangan Indonesia akan terus tumbuh dalam beberapa tahun ke depan. “Tumbuhnya kelas menengah akan membuat orang membutuhkan moda transportasi pesawat,” kata dia kepada VIVAnews.

Hitung saja, kelas menengah Indonesia versi Boston Consulting Group (BCG) sudah mencapai 74 juta orang. Angka ini akan meningkat menjadi 141 juta orang pada 2020. Mereka inilah yang sasaran empuk industri penerbangan nasional. Penduduk dengan belanja rata-rata sebesar US$200 atau Rp1,9 juta per bulan biasanya sudah memiliki keinginan naik pesawat, meski hanya terbang, tanpa layanan lain.

Tak cuma penerbangan murah, pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan juga akan mengangkat tumbuhnya orang kaya. Pada saat itu, penerbangan layanan penuh juga akan tumbuh cepat. “Mereka tak mau terbang Jakarta-Makassar hanya mendapat air minum,” kata Dudi.

Pemilik Mandala Airlines, Sandiaga S. Uno, mengatakan, pasar penerbangan murah Indonesia masih sangat cerah. Karena kelas menengah yang tumbuh pesat membutuhkan solusi transportasi murah, berkualitas, dan nyaman serta aman. “Jadi sangat menjanjikan,” kata pendiri PT. Saratoga Investama Sedaya ini.

Dari sisi industri, murahnya akses internet juga berperan penting dalam pertumbuhan pesawat berbiaya rendah ini. Internet merupakan cara mudah dan murah untuk menyalurkan distribusi tiket. Terakhir,  tentu saja, dengan tingginya tingkat isian atau load factor pesawat, keuntungan maskapai penerbangan akan meningkat, sehingga pasar pun terus berkembang.

Meski demikian, bukan berarti bisnis penerbangan tak ada kendala. Tingginya harga bahan bakar, bisa berdampak buruk pada industri ini. Apalagi bisnis penerbangan rendah biaya menghabiskan 40 persen pendapatannya untuk belanja bahan bakar.

Selain harga minyak, kurangnya infrastruktur bandara juga berpengaruh bagi maskapai rendah biaya. Biasanya, maskapai rendah biaya tidak beroperasi di bandara utama, sehingga biaya ground handling-nya lebih mahal.

Lirik AirAsia

SKK Migas: Komersialisasi Migas Harus Prioritaskan Kebutuhan Dalam Negeri

Bisnis penerbangan rendah biaya tak lepas dari AirAsia, maskapai asal Malaysia yang kini sudah merajai Asia Tenggara. AirAsia memulai bisnisnya pada akhir 2001  ketika bos perusahaan musik Tony Fernandes membeli perusahaan itu dari DRB-HICOM Bhd senilai 1 ringgit Malaysia.

Dari perusahaan bangkrut, Fernandes mengubah AirAsia menjadi perusahaan yang bisa menghasilkan keuntungan pada 2002. Tak mungkin bisa mengubah AirAsia jika Fernandes tak memiliki strategi khusus. Ia memutuskan menurunkan harga tiket serendah-rendahnya agar bisa lebih banyak menjaring konsumen kelas bawah.

Seperti pada penerbangan rendah biaya umumnya, AirAsia menggunakan tipe pesawat yang hampir serupa untuk menurunkan biaya perawatan, suku cadang, dan awak pesawat. AirAsia juga menerapkan sistem transit agar bisa mendapat penumpang lebih banyak.

AirAsia juga berhasil mengubah cara masyarakat melakukan pembelian tiket. Sebab, sekitar 80 persen transaksi pembelian tiket dan check-in AirAsia langsung menggunakan situs resminya. Cara ini menambah keuntungan karena biaya pendistribusian tiket bisa ditekan.

Kini, Fernandes telah berhasil mengembangkan AirAsia ke berbagai negara, termasuk Indonesia. Perusahaannya pun terus membesar dengan nilai kapitalisasi pasar mencapai 7,9 miliar ringgit atau sekitar  Rp24,7 triliun.

Berkaca dari pengalaman itu, sejumlah penerbangan nasional pun melirik pasar ini. Lion memborong ratusan pesawat ke Boeing dan Airbus untuk mempersiapkan penerbangan murah miliknya.  Garuda yang sudah lama melenggang di pasar kelas atas mendadak membentuk Citilink. Mandala yang membuka kembali setelah bangkrut juga memilih pasar ini.

CEO Citilink, Arif Wibowo, mengatakan, Citilink dibangun untuk mengakomodir penduduk kelas bawah, sehingga Garuda tak kehilangan pangsa pasar.  Garuda untuk kalangan menengah ke atas, sedangkan Citilink untuk menengah ke bawah. “Karena susah orang kaya kalau dicampur dengan orang miskin,” katanya kepada VIVAnews.

Parkir Cuma Sebentar, Mobil Ini Ditagih Rp48 Juta di Tangerang

Dengan nama besar Garuda, Citilink yakin pada 2017 bisa menguasai 17 persen pangsa pasar penerbangan rendah biaya Indonesia dari saat ini 11,5 persen. Ia yakin dengan rute-rute gemuk yang dimiliki, Citilink bisa cepat mencapai target itu. Rute gemuk yang dimaksud adalah Jakarta, Medan, Surabaya, Bali, Batam, Balikpapan.

“Dengan penambahan 10 unit pesawat tiap tahun, kami yakin pada 2015 bisa mengangkut 16,4 juta penumpang,” kata Arief.

Direktur Komersial Mandala, Brata Rafly, mengatakan, transportasi udara saat ini bukan lagi barang mewah. Dengan ditopang rendahnya biaya tiket, membuat orang makin bisa memilih transportasi udara, karena dapat menghemat waktu banyak.
 
Benar saja, tak kurang dari satu tahun setelah buka kembali, Mandala sudah bisa mengoperasikan tujuh pesawat dengan rute andalan Jakarta-Medan, Jakarta-Pekanbaru, Jakarta-Medan, dan Jakarta-Bangkok. “Kami tumbuh sangat cepat,” kata Brata.

Ia yakin, dengan nama Tiger Airways, Mandala akan mempunyai standar tinggi pada keselamatan dan ketepatan waktu.

Pertarungan Sengit

Meski berbagai data menunjukkan bahwa potensi penumpang pesawat masih besar di Indonesia, tetapi fakta menunjukkan bahwa bisnis penerbangan juga tidak semudah seperti yang terlihat. Perang harga antar masakapai penerbangan menyebabkan beberapa maskapai akhirnya bangkrut.

Tercatat ada beberapa maskapai berbiaya rendah yang telah kolaps akibat kesulitan keuangan atau tidak kuasa bertempur di langit. Maskapai tersebut antara lain adalah Sempati Air, Bouraq Airline, Adam Air dan Indonesia Air. Paling muktahir adalah Batavia Air yang akhirnya dipailitkan oleh kreditornya, International Lease Finance Corporation.

Seperti dikatakan oleh pengamat penerbangan Alvin Lie, nantinya hanya maskapai yang didukung dana besar yang bakal bertahan. “Mungkin nantinya persaingan akan mengerucut pada tiga kekuatan besar yaitu AirAsia, Lion Air, dan Citilink," kata pengamat penerbangan, Alvin Lie, kepada VIVAnews, belum lama ini.

Menurut Alvin Lie, maskapai yang harus berjuang menentukan posisinya dalam peta persaingan bisnis penerbangan LCC adalah Sriwijaya Air dan Mandala. "Yang agak tanggung sekarang adalah Sriwijaya. Apakah mereka akan repositioning atau seperti apa. Sementara itu, Mandala masih mencari bentuk," kata Alvin.

Dari dua kekuatan besar maskapai LCC, Alvin justru melihat persaingan besar akan terjadi pada dua operator yaitu AirAsia dan Citilink. Selain bermodal kuat, keduanya tercatat sudah memiliki pesawat yang bermain di level regional.

Sebagai anak usaha Garuda Indonesia, Citilink diuntungkan dengan posisi induk perusahaan. Citilink bisa menggunakan jaringan regional yang dimiliki oleh induk usahanya yang sudah bergabung dengan jaringan global Skytrax.

Sementara itu, AirAsia Indonesia yang masuk dalam keluarga AirAsia Bhd juga memiliki kekuatan yang sama. Induk usaha mereka sudah mempunyai jaringan yang bersifat regional dengan rute penerbangan internasional yang lebih besar.

Sopir Taksi Online yang Todong Penumpang Wanita dan Minta Rp 100 Juta Ditangkap saat Tidur Pulas
Ilustrasi tagian listrik PLN membengkak.

Tarif Listrik April-Juni 2024 Diputuskan Tidak Naik

Kebijakan tidak menaikan tarif listrik pada April-Juni 2024 merupakan upaya pemerintah dalam menjaga daya beli masyarakat.

img_title
VIVA.co.id
29 Maret 2024