SOROT 197

Melesetnya Survei Pilkada Jakarta

Prediksi survei Pilkada DKI Jakarta
Sumber :
  • ANTARA/ HO-Indra

VIVAnews - Jokowi terus tersenyum. Ramah menyambut para tetamu.  Rumah dinas Walikota Solo di Loji Gandrung itu ramai dari biasa. Ada sejumlah pengusaha. Para kepala dinas. Dan barisan para pedagang tradisonal. Tamu berjubel itu bergantian dengan wartawan.
 
Nun jauh dari sana, di Hotel Borobudur Jakarta, Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) sibuk menghitung suara. Pemilihan gubernur dan wakil gubernur. Saksi semua kandidat hadir di situ. Serius mengikuti pleno.
 
Meski menjadi salah satu kandidat, Jokowi kurang hafal siapa saksinya yang hadir di Borobudur itu. Lantaran sibuk menerima tamu, dia juga tak sempat menyaksikan perhitungan suara yang disiar langsung sejumlah televisi. "Kalau dipantau langsung, apa bisa mengubah suara? Kan nggak tho?" kata Jokowi sembari melempar senyum khasnya kepada wartawan.
 
Joko Widodo, begitu nama lengkapnya, menghentak jagat politik Indonesia belakangan ini. Dari enam kandidat yang maju merebut kursi gubernur DKI, mungkin dia yang paling sering diberitakan media massa. Para pendukungnya riuh di media sosial. Dari Facebook hingga Twitter.

Pria bertubuh jangkung garing itu juga membalik semua hasil survei. Melejit menaklukkan Fauzi Bowo, kandidat incumbent, yang dalam jajak pendapat semua lembaga survei, berkuasa di posisi puncak.
 
Lihatlah hasil perhitungan KPUD di Borobudur itu. Pasangan Joko Widodo dan Basuki Tjahaya Purnama meraih 1,847.157 suara. Dengan jumlah itu, mereka mendulang 42,6 persen dari total pemilih yang mencoblos. Para pendukung pasangan ini bergirang sorak.
 
Pasangan Fauzi Bowo dan Nachrowi Ramli, memperoleh sejumlah 1.476.648 suara. Meraih 34 persen dari total warga yang memilih. Di belakangan keduanya ada pasangan Hidayat Nur Wahid dan Didik J. Rachbini.
 
Lantaran tak ada pasangan yang meraih suara lebih dari 50 persen, maka pilkada ini berlangsung dua putaran. Putaran kedua digelar 20 September 2012. Dua pasangan ini akan bertarung. Joko Widodo dan Basuki Tjahaya Purnama versus Fauzi Bowo dan Nachrowi Ramli. Nomor urut mereka juga tetap sama. Foke nomor satu. Jokowi nomor tiga.
 
Pasangan Jokowi memang sempat meminta pemilihan tahap kedua mundur, terutama untuk membereskan Daftar Pemilih Tetap (DPT) yang sebelumnya berkali-kali berubah. Tapi jadwal itu tampaknya jalan terus.

Ketua KPU DKI, Dahliah Umar menegaskan bahwa mereka sudah menetapkan jadwal. Dan penetapan itu ada alasannya. Surat dari tim Jokowi yang meminta jadwal mundur, katanya, “Akan kami baca dulu, nanti akan kami balas."
 
Semua Survei Meleset
Jokowi menang putaran pertama. Dan itu membenam hasil semua survei. Sebelum pemilihan digelar, Rabu 11 Juli 2012, sejumlah lembaga ramai mengumumkan hasil survei mereka. Hasil sama. Foke unggul telak. 
 
Lingkaran Survei Indonesia (LSI) bersama Cikom LSI bahkan lebih maju. Fauzi Bowo akan terpilih kembali. Meski belum menyentuh magic number alias di atas 50 persen untuk menang satu putaran, posisi Foke tetap aman. 
 
Ini rincian survei LSI pimpinan Denny JA itu. Digelar antara tanggal 22 hingga 27 Juni 2012. Jumlah responden 450. Pasangan Fauzi Bowo dan Nachrowi Ramli sukses meraih 43,7 persen. Margin of error survei 4,8 persen, dengan multistage random sampling.
 
Urutan kedua Jokowi dan Basuki. Perolehan mereka jauh tertinggal. Cuma 14,4 persen. Sementara empat pasangan lain hanya memperoleh dukungan di bawah 10 persen. Bahkan ada pula di bawah 5 persen.
 
Dengan hasil seperti itu, "Butuh tambahan 7 persen agar  pasangan ini menang satu putaran," kata Direktur Riset LSI, Arman Salam, dalam jumpa pers, Minggu, 1 Juli 2012. Hasil survei ini ramai diberitakan media massa.
 
Jaringan Suara Indonesia (JSI) juga sama optimistisnya menilai kekuatan Foke dan Nara. "Tren dukungan kepada Jokowi dan Ahok mulai menurun. Di sisi lain, dukungan terhadap Foke dan Nara naik," kata Direktur Eksekutif JSI, Widdi Aswindi, dalam jumpa pers di Senayan, Jakarta Selatan, Jumat, 6 Juli 2012.
 
Entah apa sebabnya, menurut survei JSI, tren dukungan terhadap Jokowi mulai melemah. Semenjak Juni. Padahal sebelumnya dukungan itu menanjak terus. Februari 2012, pasangan yang diusung PDI Perjuangan dan Partai Gerindra ini cuma meraih 2,6 persen.
 
Ramai diberitakan media massa, perolehan mereka cepat melaju. Melonjak menjadi 17,2 persen pada Mei. "Namun kemudian turun dalam survei terakhir menjadi 15,8%,” kata Widi. Jadi dukungan melemah.
 
Jika Jokowi melemah, Foke justru terus melaju. Pada Februari 2012, kata Widi, pasangan Foke dan Nara meraih 43,1 persen. Perolehan pasangan ini terus menanjak. Mei naik menjadi 45,8 persen. Dan pada survei dengan metode tatap muka, yang digelar awal Juli perolehan itu menjadi 49,6 persen.
 
Survei yang terakhir itu menggunakan multistage random sampling. Jumlah sampel 1.200 orang. Data dikumpul semenjak 28 Juni hingga 2 Juli. Dengan hasil seperti itu, peluang Foke dan Nara menang satu putaran terbuka. Peluang itu kian besar, sebab menurut survei itu, mayoritas warga ingin satu putaran. 
 
Sementara hasil survei kerjasama Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES), MNC Riset, dan Prisma, tegas menyimpulkan pemilihan berlangsung dua putaran. Babak kedua antara Foke dan Nara versus Jokowi dan Ahok.
 
Perolehan dua pasangan itu sangat tipis. Foke dan Nara unggul dengan 24,5 persen. Sementara Jokowi dan Ahok menguntit dengan perolehan 22,7 persen. Survei ini dilakukan via telepon atau telepolling.  Yang disurvei adalah  pelanggan telepon kabel di lima wilayah di DKI Jakarta. Digelar sepuluh hari sebelum pemungutan suara.
 
Lembaga Survei Indonesia (LSI) memang tidak mengumumkan hasil survei. Tapi malam sebelum pemungutan suara digelar,  peneliti senior Lembaga Survei Indonesia Burhanuddin Muhtadi bercerita kepada VIVAnews. Survei terakhir -- yang digelar sepuluh hari sebelum pemungutan suara -- Foke-Nara masih yang teratas. “Fauzi masih di atas 40 persen," kata Burhan.
 
Jokowi, katanya, mengekor di kisaran 30-an persen. Namun Burhan memastikan, pilkada ini akan berlanjut ke putaran dua. Foke versus Jokowi.
 
Anomali?
Kejutan itu datang dari Menteng.  Perumahan elite di pusat kota Jakarta. Tanggal 11 Juli 2012. Dari Tempat Pemungutan Suara (TPS) 01, Jokowi sempat menyalip perolehan Fauzi Bowo. Padahal  di situlah Foke mencoblos bersama keluarga. Perolehan suara mereka susul menyusul, sebelum akhirnya Foke unggul tipis.
 
Tapi di sebelah, TPS 02 Menteng —letaknya tak jauh dari TPS Foke itu-– Jokowi yang menang. Kemenangan itu juga diraih di banyak tempat. Termasuk dari tempat-tempat di mana sejumlah kandidat lain ikut memilih.

Tiga jam setelah pemungutan suara ditutup, Lembaga Survei Indonesia (LSI) melansir hasil hitung cepat. Lembaga yang didirikan Saiful Mujani ini menempatkan Jokowi dan Ahok sebagai pemenang. Meraih 42,55 persen. Banyak orang terkejut.
 
Di bawah mereka pasangan Foke dan Nara meraih 33,64 persen suara. Pasangan Hidayat Nur Wahid dan Didik J. Rachbini 11,92 persen.  Faisal Basri dan Biem Benyamin 4,94 persen. Alex Noerdin dan Nono Sampono 4,84 persen. Pasangan Hendardji Supandji dan Riza Patria paling buncit. Meraih 2,1 persen.
 
Peneliti senior  LSI, Burhanuddin Muhtadi, mengatakan quick count ini mengambil sampel sebanyak 410 TPS. Populasi sebanyak 15.059 suara.
 
Dan Jaringan Suara Indonesia (JSI) yang sebelumnya melansir bahwa tren dukungan terhadap Jokowi melemah, bertemu fakta  sebaliknya. Jokowi menguat. Bahkan jadi pemenang. Meraup 41,97 persen suara.
 
Sementara pasangan Foke dan Nara, yang menurut survei JSI terakhir terus menanjak dan meraup 49,6 persen, terjun jauh dalam hasil quick count itu. Cuma dapat 34,42 persen. Sudah mustahil bagi Foke menang satu putaran. ()
 
Mengapa survei dan hasil quick count jauh berbeda? JSI menyebut hasil pilkada itu sebagai anomali. Mereka lalu mengevaluasi metodologi dan teknik survei. Hasilnya? Tidak ada hal yang signifikan, yang mempengaruhi perubahan hasil survei.

Berpantun, Dubes Iran Ucapkan Selamat Idul Fitri Bagi Rakyat Indonesia

“Berdasarkan evaluasi kami, pasangan nomor urut 2, 4, 5, dan 6 masih dalam lingkup margin of error. Hanya  pasangan  Foke dan Nara, juga pasangan Jokowi dan Ahok yang anomali,” kata Direktur Riset JSI, Eka Kusmayadi, kepada VIVAnews, Kamis 12 Juli 2012. Margin of error survei JSI ketika itu adalah 2,9 persen.
 
Anomali itu, begitu Eka menduga,  karena warga mengubah pilihan. Saat survei mereka pilih Foke. Saat coblos memilih Jokowi. “Jadi ada suara dukungan untuk Foke yang bergeser ke Jokowi. Ini yang membingungkan,” kata Eka.
 
Mengapa berubah?  
 
Eka meragukan perubahan itu lantaran kampanye. Sebab pengaruh kampanye mestinya sudah terekam dalam survei. Perolehan Jokowi melonjak, katanya, juga bukan karena swing voters. Massa mengambang yang belum menentukan pilihan. Sebab, “Swing voters yang sudah terbagi ke pasangan non-incumbent juga sudah terlihat di survei,” katanya.
 
Lalu mengapa berubah? JSI menduga ada faktor psikologis. Dan inilah sumber anomali itu. Warga Jakarta, katanya, cenderung tertutup saat diwawancarai untuk survei. Takut mengaku mendukung non-incumbent. “Jadilah mereka main aman saja,” kata Eka.
 
Sampel Rusak?
Tapi dengarlah Hasan Nasbi. Hasan adalah Direktur Eksekutif Cyrus Network. Ini lembaga konsultan politik pasangan Jokowi dan Ahok. Survei dan fakta itu beda, katanya, lantaran salah mengambil sampel. “Jangan gampang salahkan pemilih dengan menyebut anomali,” kata Hasan kepada VIVAnews, Kamis 19 Juli 2012.

Tapi dia melanjutkan bahwa salah juga jika menghakimi riset kuantitatif dengan menyatakan metodologi harus diperbaiki. Sebab bukan di situ soalnya.
 
Secara metodologi, Hasan menegaskan, standar  sejumlah lembaga survei sudah benar. Mereka sudah mengelompokan responden, lalu kemudian dipilih secara acak. Dipilah-pilah secara bertingkat. Teknik ini, katanya, bisa berupa stratified random sampling atau multistage random sampling.
 
Lalu apa masalahnya? Khusus untuk pilkada Jakarta, kata Hasan, ada masalah dalam mengambil sampel survei. Minimnya database kependudukan, membuat hampir semua lembaga survei mengandalkan pencatatan di tingkat rukun tetangga (RT). Sementara, lanjut Hasan, begitu pilkada hendak dimulai, para ketua RT sudah  terpengaruh incumbent.
 
Dalam keadaan normal dan tidak ada kontestasi keras, data di tingkat RT ini bisa diakses. Namun setelah April, kata Hasan, mereka mulai paranoid ketika surveyor datang.  Berhadapan dengan RT yang paranoid, tidak bisa mendapat responden dengan mudah. “Kalau pun dapat mereka ditekan. Jadi ada bias ketua RT,” kata Hasan.

Jika sudah bias, repotlah hasilnya. Responden yang didapat bisa lebih banyak pro-incumbent. Dan meski dengan sampling rusak dan diarahkan, lanjut Hasan, tidak satu pun lembaga survei yang bilang pilkada satu putaran.
 
Tim Jokowi dan Ahok memastikan tidak ada anomali pemilih. Yang ada adalah kesalahan pengambilan sampel responden.  Hasan mengajurkan agar para pelaku survei cek dari hulu ke hilir. Jangan hanya menunggu di hilir. “Kalau sampling tak memadai, sampel kita akan jauh dari kenyataan,” kata Hasan.
 
Namun Anggota Dewan Etik Persepi (Perhimpunan Survei Opini Publik Indonesia) Saiful Mujani membantah tuduhan itu. “Saya kira tidak ada kesalahan survei. Kalau metode salah, sampling salah, quick count juga pasti salah,” kata pendiri Lembaga Survei Indonesia dan Saiful Mujani Research and Consulting (SMRS) itu.
 
Lalu mengapa survei meleset?
 
Selisih yang mencolok antara survei dengan pemilihan, kata Saiful, lantaran dinamika pemilih. Dinamika itu terjadi sebab gencarnya kampanye Jokowi dan Ahok.
 
Muhammad Qodari, Direktur Eksekutif IndoBarometer, juga berpendapat senada. Tidak ada masalah sampel. Metodologi juga tak masalah. Sebab model yang sama sudah berulang dipakai. Baik pilkada maupun pemilu nasional. “Saya kira perubahan terjadi karena perubahan opini masyarakat,” kata Qodari.
 
Dalam Pilkada Jakarta, kata Qodari, pergeseran yang paling signifikan terjadi pada Jokowi. Foke kena dampaknya. Empat kandidat lain tak ada perubahan signifikan.
 
Bantahan juga datang dari Denny JA, Direktur Eksekutif Lingkaran Survei Indonesia. Tak ada kesalahan pengambilan responden. Sebab, kata Denny, hampir semua lembaga survei menemukan fenomena yang sama sebelum pemilihan digelar.
 
Survei meleset, kata Denny, karena ada dinamika sejak H-7. Tujuh hari sebelum pemungutan. Dan ini yang tak bisa dijangkau lembaga survei. Dinamika ini terjadi di jagat jejaring sosial. Seperti Facebook dan Twitter. ()
 
Perang tujuh hari terakhir dalam media sosial, kata Denny, sudah tidak terpantau lembaga survei. Dan itu fenomena khas Jakarta. KPUD melarang kampanye H-3. “Di Twitter justru menggebu-gebu,” kata Denny kepada VIVAnews.com
 
Tapi menurut Andrinof Chaniago, Direktur Eksekutif Cirus Surveyor Group, metodologi yang benar seharusnya tidak menghasilkan penyimpangan yang jauh. Apalagi kalau jarak waktunya dekat.
 
Jarang sekali, kata Adrinof, ada penyimpangan survei dengan hasil riil yang jauh seperti itu. Dan seperti penjelasan Hasan, bisa jadi problemnya, kata Andrinof, di tingkat lapangan. Pada tahap pengambilan sampel.
 
Apapun alasan perbedaan survei dan hasil pilkada itu, Jokowi kini bersiap melaju ke putaran kedua. Dan dia siap dengan jurusnya sendiri. Keluar masuk kampung. Di lapangan, katanya, perubahan itu terjadi dari menit ke menit. “Dan itu yang tidak dilihat lembaga survei.”

Kabid Humas Polda Metro Jaya, Kombes Pol Ade Ary Syam Indradi

Polisi Antisipasi Macet di Jadetabek Karena Mudik Lokal di Hari Lebaran

Polda Metro Jaya mengungkapkan, juga bakal mengantisipasi kemacetan, di kawasan Jakarta-Depok-Tangerang-Bekasi atau Jadetabek, di hari Lebaran, karena adanya mudik lokal.

img_title
VIVA.co.id
10 April 2024